Rabu, 26 Februari 2014

KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH : KOLITIS ULSERATIVE

ASUHAN KEPERAWATAN GANGGUAN PADA PENCERNAAN
“KOLITIS ULSERATIF”
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah I (KMB I)
DosenPengampu : Akhmad Rizani

logo_poltekkes_depkes.jpeg












Oleh:
Kelompok VIII
Nia Ulfah
Rahmat kurniawan
Siti rohmi datul nuri
Zainal abidin


KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KESEHATAN BANJARMASIN
JURUSAN KEPERAWATAN
BANJARBARU

2013




BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Kolitis berasal dari kata kolon (usus besar) dan itis (peradangan). Kolitis ulserativa merupakan penyakit radang non spesifik kolon yang umumnya berlangsung lama disertai masa remisi dan eksaserbasi yang berganti-ganti. Sakit abdomen, diare dan perdarahan rektum merupakan tanda dan gejala yang penting. Frekuensi penyakit paling banyak antara usia 20 -40 tahun, dan menyerang ke dua jenis kelamin sama banyak. Insiden kolitis ulserativa adalah sekitar 1 per 10.000 orang dewasa kulit putih per tahun.
Tugas utama kolon ialah untuk menyimpan sisa makanan yang nantinya harus dikeluarkan, absorpsi air, elektrolit dan asam empedu. Absorpsi terhadap air dan elektrolit terutama dilakukan di kolon sebelah kanan, yaitu di coecum dan kolon asenden, dan sebagian kecil dibagikan kolon lainnya. Begitu juga beberapa macam obat-obat yang diberikan per rektal dapat dilakukan absorpsi, umumnya dalam bentuk suppositoria. Kolon yang normal selama 24 jam dapat melakukan absorpsi 2,5 liter air, 403 mEq Na dan 462 mEq Cl. Sebaliknya kolon mengeluarkan sekresi 45 mEq K dan 259 mEq bikarbonat.
Peradangan kolon akut dapat disebabkan oleh sejumlah agen  infeksi yaitu virus, bakteri, atau parasit. Manisfestasi klinik infeksi ini adalah demam, sakit kejang abdomen bagian bawah, dan diare yang dapat berdarah. Pada kasus yang berat darah secara kasar dapat ditemukan dalam feses, dan gambaran klinik dan sigmoidoskopi dapat menyerupai kolitis ulserativa akut. Sel-sel radang akut terdapat pada infeksi Shigella atau Salmonella, kolitis amoeba akut, atau kolitis ulserativa idiopatik; sel-sel ini tidak terdapat pada gastroenteritis virus atau diare yang disebabkan oleh enterotoksin.

B.     Rumusan Masalah
Rumusan masalah dari makalah ini adalah bagaimana konsep dasar penyakit serta asuhan keperawatan colitis ulseratif?
C.    Tujuan Penulisan
1.      Tujuan umum
Tujuan umum dari penulisan makalah ini adalah menjelaskan dan memahami tentang konsep dasar penyakit serta asuhan keperawatan colitis ulseratif.
2.      Tujuan khusus
a. Memahami definisi kolitis ulseratif
b.      Memahami penyebab kolitis ulseratif
c.       Memahami patofisiologis kolitis ulseratif
d.      Memahami pemeriksaan diagnostik kolitis ulseratif
e.       Memahami tanda dan gejala kolitis ulseratif
f.       Memahami penatalaksanaan untuk kolitis ulseratif
g.      Memahami konsep dasar asuhan keperawatan yang meliputi pengkajian, diagnosa keperawatan yang biasanya timbul, intervensi atau perencanaan keperawatan untuk kolitis ulseratif.

D.    Manfaat Penelitian
Makalah  ini diharapkan dapat menambah khasanah dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan memberikan informasi tentang colitis ulseratif.










BAB II
ISI

A.    Konsep Dasar Penyakit
1.      Definisi Kolitis Ulseratif
Kolitis ulseratif adalah suatu penyakit ulseroinflamatorik yang mengenai kolon, tetapi terbatas di mukosa dan submukosa, kecuali pada kasus yang sangat parah. Kolitis ulseratif berawal di rektum dan meluas perkontinuitatum ke proksimal, kadang-kadang mengenai seluruh kolon (Robbins, 644,2004).
Kolitis ulseratif adalah kondisi kronis yang tidak diketahui penyebabnya biasanya mulai pada rektum dan bagian distal kolon dan mungkin menyebar keatas dan melibatkan sigmoid dan kolon desenden atau seluruh kolon. Ini biasanya hilang timbul ( akut eksaserbasi dengan remisi panjang), tetapi beberapa individu (30%-40%) mengalami gejala terus menerus (Doenges, 471, 2000).
     



2.      Etiologi Kolitis Ulseratif
Penyebab dari kolitis ulseratif sangat beragam, meliputi fenomena autoimun, faktor genetik perokok pasif, diet, pascapendektomi, dan infeksi.
Pada fenomena autoinum, serum, dan mukosa auto-antibodi akan melawan sel-sel epitel usus yang mungkin terlibat. Pada studi individu dengan kolitis elseratif sering ditemkan memiliki antibodi p-antineutrophil cytoplasmic (Fiocchi, 1998).
Pada fenomena yang diperantarai respons imun, terdapat kelainan humoral dan imunisasi yang diperantarai sel dan reaktivitas umum terhadap antigen bakteri usus. Hilangnya toleransi terhadap flora usus normal diyakini merupakan peristiwa utama dalam pathogenesis penyakit inflamasi usus (Khan, 2009).
Faktor kerentanan genetik (kromosom 12 dan 16) adalah factor yang dikaitkan dengan kolitis ulseratif. Sejarah keluarga yang positif (diamati pada 1 dan 6 keluarga) berhubungan dengan resiko lebih tinggi untuk terjadinya penyakit (Salby, 1998). Perokok pasif dikaitkan dengan kolitis ulseratif sedangkan perokok justru lebih rendah untuk terjadinya kolitis ulseratif. Kondisi ini merupakan fenomena terbalik dibandingkan dengan enteritis regional (Chron’s disease) (Thoomas, 2000).
Faktor konsumsi makanan, khususnya yang terbuat dari susu dapat meningkatkan respon penyakit (Jayanthi, 1991). Pascaapendektomi mempunyai asosiasi negatif dengan kolitis ulseratif (Le, 2008). Infeksi tertentu telah terlibat dalam peyakit inflamasi usus, misalnya campak, infeksi mikrobakteri atipikal (Tremaini, 2000).

3.      Patofisiologi Kolitis Ulseratif
Kolitis ulseratif hanya melibatkan mukosa; kondisi ini ditandai dengan pembentukan abses dan deplesi dari sel-sel Goblet. Dalam kasus yang berat, submukosa mungkin terlibat; dalam beberapa kasus, makin dalam lapisan otot dinding kolon juga terpengaruh.
Kolitis akut berat dapat mengakibatkan kolitis fulminan atau megakolon toksik, yang ditandai dengan penipisan dinding tipis, pembesaran, serta dilatasi usur besar yang memungkinkan terjadinya perforasi. Penyakit kronis dikaitkan dengan pembentukan pseudopolip pada sekitar 15-20% dari kasus. Pada kondisi kronis dan berat juga dihubungkan dengan risiko peningkatan prekanker kolon, yaitu berupa karsinoma ini situ atau dispalsia. Secara antomis sebagai besar kasus melibatkan rectum; beberapa pasien juga mengalami mengembangkan ileitis terminal disebabkan oleh katup oleocecal yang tidak kompeten. Dalam kasus ini, sekitar 30 cm dari ileum terminal biasanya terpengaruh.
Selanjutnya terdapat beberapa perubahan imunologis akan terlibat, yaitu meliputi hal-hal sebagai berikut.
1.         Akumulasi sel T di dalam lamina propia dari segmen kolon yang mengalami peradangan. Pada pasien dengan kolitis ulseratif, ini adalah sel T sitotoksik ke epitel kolon. Perubahan ini disertai dengan peningkatan populasi sel B dan sel plasma, dengan peningkatan produksi immunoglobulin G (IgG) dan immunoglobulin E (IgE).
2.         Biopsi sampel kolon dari pasien dengan colitis ulseratif dapat menunjukkan peningkatan secara signifikan tingkat platelet-activating factor (PAF). Pelepasan PAF dirangsang oleh leukotrienes, endotoksin atau faktor lain yang mungkin bertanggung jawab atas peradangan mukosa, namun proses ini tidak jelas.
3.         Antibody antikolonik telah terdeteksi pada pasien dengan ulseratif colitis.
Respons awal kolitis ulseratif adalah edema yang berlanjut pada terbentuknya jaringan parut dan pembentukan ulkus disertai adanya perdarahan. Lesi berlanjut, yang terjadi secara bergiliran, satu lesi diikuti oleh lesi yang lainnya. Proses penyakit mulai pada rektum dan akhirnya dapat mengenai seluruh kolon. Pada kondisi ini, penipisan dinding usus atau ketebalan normal, tetapi dengan adanya respons inflamasi local yaitu edema, serta akumulasi lemak dan hipertrofi dari lapisan otot dapat memberikan kesan dinding usus menebal sehingga memberikan manifestasi penyempitan lumen usus dan terjadi pemendakan dari usus.










 









Obstruksi usus megakolon toksik refraktor terhadap terapi farmatologi pendarahan masif
 
                                                                                                                        
 

















Gambar 7.30
Patofisiologi kolitis ulseratif ke masalah keperawatan.
Gangguan gastrointestinal aplikasi askep medical bedah. Jakarta : penerbit salemba medika
Perubahan peradangan secara mikroskopis jaringan yang mengalami ulkus segera ditutupi oleh jaringan granulasi yang selanjutnya akan merusak mukosa dan akan terbentuk jaringan polypoidal atau yang dikenal sebagai polip atau peradangan pseudopolip.

4.      Pemeriksaan Diagnostik
Pengkajian pemeriksaan diagnostik terdiri atas pemeriksaan laboratorium, radiografik, dan endoskopik.

1.         Pemeriksaan laboratorium (Wu, 2009).
        Temuan pada pemeriksaan laboratorium dalam evaluasi kolitis ulseratif mungkin endoskopik.
a.          Anemia (yaitu hemoglobin <14 g/dl pada pria dan <12 g/dl pada wanita).
b.         Peningkatan tingkat sedimentasi (variable referensi rentang, biasanya 0-33 mm/jam) dan peningkatan C-reactive protein (yaitu >100 mg/L). kedua temuan ini berkorelasi dengan aktivitas penyakit.
c.          Trombositosis (yaitu platelet >350.000 /L).
d.         Hipoalbuminemia (yaitu albumin <3,5 g/dl).
e.          Hipokalemia (yaitu kalium <3,5 mEq/L).
f.          Hipomagnesemia (yaitu magnesium <1,5 mg/dL).
g.         Peningkatan alkalin fosfatase : lebih dari 125 U/L menunjukkan kolangitis sclerosing primer (biasanya >3 kali batas atas dari kisaran referensi).
h.         Pada diagnosis kolitis ulseratif kronis, pemeriksaan fases yang cermat dilakukan untuk membedakannya dengan disentri yang disebabkan oleh organism usus umum, khususnya Entamoeba histolytica, Fases terhadap darah.

2.         Pemeriksaan radiografik
a.          Foto polos abdomen
Sinar rontgen mungkin menunjukkan dilatasi kolon, dalam kasus yang parah bisa didapatkan megakolon toksik. Selain itu, bukti perforasi, obstruksi, atau  ileusjuga dapat diamati (Khan, 2009).
b.         Studi kontras barium
Barium enema dapat dilakukan dengan aman dalam kasus ringan. Dengan barium enema dapat dilihat adanya megakolon toksik, kondisi ulkus, dan penyempitan kolon. Selain itu, enema barium akan menunjukkan iregularitas mukosal, pemendekan kolon, dan dilatasi lengkap usus (Carucci, 2002).
c.          CT Scan
Secara umum CT scan menunjukkan peran yang kecil dalam diagnosis kolitis ulseratif. CT scan dapat menunjukkan penebalan dinding kolon dan dilatasi bilier primer kolangitis sklerosis (Carucci, 2002).

3.         Prosedur endoskopi
Endoskopi dapat menunjukkan mukosa yang rapuh, mukosa terinflamasi dengan eksudat dan ulserasi. Temuan di sigmoidoskopi fleksibel dapat memberikan diagnosis kolitis. Tujuan lain dari pemeriksaan ini adalah untuk mendokumentasi kan sejauh mana progresivitas penyakit, untuk memantau aktivitas penyakit, dan sebagai surveilans untuk displasia atau kanker. Namun, berhati-hati dalam upaya kolonoskopi dengan biopsi pada pasien dengan penyakit parah karena risiko yang mungkin perforasi atau lainnya komplikasi (Rajwal, 2004).

5.      Manifestasi Klinik
Gejala yang pertama kali diajukan yaitu keluarnya keluarnya darah segar per rektum terutama setelah defekasi dan atau adanya diare. Pada akhirnya terjadi diare bercampur darah. Pada sebagian penderita dapat timbul secara akut dari permulaan dengan disertai diare berdarah dan penderita terlihat sakit berat untuk beberapa hari atau minggu. Gejala-gejala akut ini timbul bilamana terjadi perdarahan dari kolon yang difus. Tak jarang penyakit ini timbul sejak penderita sedang hamil dan menyebabkan keadaan jadi berat. Bilamana penyakit ini hanya dibagian kolon sigmoid (prokto sigmoiditis), maka terjadi perdarahan kronis sehingga timbul anemi.
Tapi bila terjadi perluasan dari penyakit dan merupakan stadium akut maka terjadi panas, takhikardi, Hb menurun (anemia normositik), berat badan menurun, badan merasa lemah dan lesu, otot-otot lemah. Serangan yang berat dapat disertai dengan diare yang dapat lebih dari 20 kali sehari. Tinja cair dan bercampur dengan darah, mukopurulen. Mungkin disertai dengan nausea dan vomitus. Disamping itu akan terjadi gangguan elektrolit.
Ada rasa nyeri di perut yang kadang-kadang ada kolik. Pada saat diare juga akan kehilangan protein, dapat menyebabkan hipoproteinemia dan terjadi edema. Pada pemeriksaan  fisik pada penderita yang berat terlihat lemah, anemia, tanda-tanda dehidrasi positif. Dinding abdomen yang lembek, nyeri tekan. Pada penderita yang mengalami dilatasi dari kolon, maka terlihat abdomen yang mengembung, meteoristik, timpanitik.


6.      Penatalaksanaan
1.      Terapi farmakologi
Tujuan terapi farmakologi adalah untuk mengurangi morbiditas dan untuk mencegah komplikasi, dengan pertimbangan terapi berikut ini.
a.         Tumor necrosis factor (TNF) inhibitors.
Agen ini mencegah sitokin endogen dari mengikat ke reseptor permukaan sel dan mengarahkan aktivitas biologis.

b.        Immunomodulators
 Agen ini mengatur faktor-faktor kunci dari sistem kekebalan tubuh.
c.         Antibiotik
 Antibiotik belum terbukti memberikan keuntungan yang konsisten dari beberapa uji coba terkontrol untuk pengobatan kolitis ulseratif aktif. Akan tetapi, biasanya diberikan pada dasar empiris pada pasien dengan kolitis yang parah dan dapat membantu menghindari suatu infeksi yang mengancam jiwa.
d.        Kortikosteroid
Digunakan dalam moderat hingga berat kasus aktif untuk induksi remisi. Agen ini tidak memiliki manfaat dalam mencegah remisi; penggunaan jangka panjang dapat menyebabkan efek samping.

2.      Terapi bedah
Bedah memainkan peran integral dalam pengobatan kolitis ulseratif untuk mengontrol dan mengobati gejala komplikasi. Pembedahan dilakukan sesuai dengan kondisi klinik individu. Beberapa jenis pembedahan pada kolitis ulseratif, meliputi : Subtotal Colectomy with Ileostomy and Hartmann’s Pouch, Total Proctocolectomy with Ileostomy, Total Abdominal Colectomy with Ileal Rectal Anastomosis, Total Proctocolectomy with Continent (Kock) Pouch, Total Proctocolectomy with Ileal Pouch Anal Anastomosis, Anal Transition Zone Preservation, dan Doverting Ileostomy.
Pertimbangan untuk total kolektomi adalah sebagai berikut (Becker, 1999).
a.         Refraktori penyakit dengan kegagalan terapi medis.
b.        Terdapat bukti karsinoma atau dysplasia.
c.         Pendarahan parah.
d.        Kolitis fulminan tidak responsif terhadap pengobatan.
e.         Megakolon toksik.
f.         Perforasi.
g.        Obstruksi dan striktur dengan kecurigaan untuk kanker.
h.        Sistemik komplikasi dari obat, khususnya steroid.
i.          Gagal tumbuh pada anak-anak.


B.     Konsep Dasar Asuhan Keperawatan Kolitis Ulseratif
1.      Pengkajian
Pengakajian kolitis ulseratif terdiri atas pengkajian anamnesis, pemeriksaan fisik, dan evaluasi diagnostik. Pada anamnesis keluhan utama yang lazim didapatkan adalah nyeri abdomen, diare, tenesmus intermiten, dan perdarahan rektal.
Keluhan nyeri biasanya bersifat kronis, yaitu berupa nyeri kram pada kuadran periumbilikal kiri bawah. Kondisi rasa sakit bisa mendahului diare dan mungkin sebagian pasien melaporkan perasaan  nyaman setelah BAB. Diare biasanya disertai darah. Pasien melaporkan mengeluarkan fases cair 10-20 kali sehari. Pasien juga mengeluh saat BAB seperti ada yang menghalangi.
Pada pengkajian riwayat penyakit sekarang, kondisi ringan karena karena kolitis ulseratif adalah penyakit mukosa yang terbatas pada kolon, gejala yang paling umum adalah pendarahan anus, diare, dan sakit perut. Pada kondisi kolitis ulseratif berat terjadi pada sekitar 100% dari pasien, didapat keluhan lainnya yang menyertai, seperti peningkatan suhu tubuh, mual, muntah, anoreksia, perasaan lemah, dan penurunan nafsu makan. Pasien dengan kolitis yang paras dapat mengalami komplikasi yang mengancam nyawa, termasuk pendarahan parah, mengkolon toksik, atau perforasi usus.
Riwayat penyakit dahulu penting digali untuk menentukan penyakit dasar yang menyebabkan kondisi enteritis regional. Pengkajian predisposisi seperti genetik, lingkungan, infeksi, imunitas, makanan, dan merokok perlu didokumentasikan. Anamnesis penyakit sistemik, seperti DM, hipertensi, dan tuberculosis dipertimbangkan sebagai sarana pengkajian preoperatif.
Pengkajian psikososial akan didapatkan peningkatan kecemasan karena nyeri abdomen dan rencana pembedahan, serta perlunya pemenuhan informasi prabedah.
Temuan pada pemeriksaan fisik bervariasi tergantung pada sejauh mana, durasi, dan tingkat keparahan penyakit. Pemeriksaan fisik yang didapatkan sesuai dengan menifestasi klinik yang muncul. Pada kolitis ulseratif berat survey umum pasien terlihat lemah dan kesakitan. TTV mengalami perubahan sekunder dari nyeri dan diare. Suhu badan pasien akan naik 38,5ºC dan terjadi takikardia. Pengkajian berat badan yang disesuaikan dengan tinggi badan dapat menentukan status nutrisi.
Pada pemeriksaan fisik focus akan didapatkan :
B1         : takipnea dapat hadir karena sembelit atau sebagai mekanisme kompensasi asidosis dalam kasus dehidrasi parah.
B2         : takikardia dapat mewakili anemia atau hipovolemia. Turgor kulit >3 detik menandakan gejala dehidrasi.
B3         : perubahan tingkat kesadaran berhubungan dengan penurunan perfusi ke otak. Pasien dengan episkleritis dapat hadir dengan erythematous yang menyakitkan mata.
B4         : oliguria dan anuria pada dehidrasi berat.
B5 : Inpeksi    : kram abdomen didapatkan. Perut didapatkan kembung. Pada kondisi kronis, status nutrisi bisa didapatkan tanda-tanda kekurangan gizi, seperti atrofi otot dan pasien terlihat kronis.
      Palpasi      : nyeri tekan abdomen (tenderness), menunjukkan penyakit parah dan kemungkinan perforasi. Nyeri lepas dapat terjadi pada kuadran kanan bawah. Sebuah massa dapat teraba menunjukkan obstruksi atau megakolon. Pembesaran limpa mungkin menunjukkan hipertensi portal dari hepatitis autoimun terkait atau kolongitis sklerosis.
      Perkusi      : nyeri ketuk dna timpani akibat adanya flatulen.
      Auskultasi : bising usus bisa normal, hiperaktif atau hipoaktif. Nada gemerincing bernada tinggi dapat ditmukan dalam kasus-kasus  obstruksi.
B6         : kelemahan fisik umum sekunder dari keletihan dan pemakaian energy setelah nyeri dan diare. Nyeri sendi (arthralgia) adalah gejala umum yang ditemukan pada penyakit inflamasi usus. Sendi besa, seperti lutut, pergelangan kaki, pergelangan tangan, dan siku, yang paling sering terlibat, tetapi setiap sendi dapat terlibat. Pada integument, kulit pucat mungkin mengungkapkan anemia, penurunan tugor kulit dalam kasus dehidrasi, eritema nodosum dapat terlihat pada permukaan ekstensor.
a.       Aktivitas/istirahat
Gejala: kelemahan, kelelahan, malaise, cepat lelah. Insomnia, tidak tidur semalaman karena diare. Merasa gelisah dan ansietas. Pembatasan aktivitas/kerja sehubungan dengan efek proses penyakit.
b.      Sirkulasi
Tanda: takikardia (respons terhadap demam, dehidrasi, proses inflamasi, dan nyeri)
Kemerahan, area ekimosis (kekurangan vitamin K)
TD: Hipotensi, termasuk postural.
Kulit/membran mukosa: turgor buruk, kering, lidah pecah-pecah (dehidrasi/malnutrisi)
c.       Integritas ego
Gejala: ansietas, ketakutan, emosi kesal, mis. Perasaan tak berdaya/tak ada harapan.
Factor stress akut/kronis, missal hubungan dengan keluarga/pekerjaan,
Pengobatan yang mahal, faktor budaya peningkatan prevalensi pada populasi yahudi
Tanda ; Menolak, perhatian menyempit, depresi
d.      Eliminasi
Gejala : Tekstur feses bervariasi dari bentuk lunak sampai bau atau ber air, episode diare berdarah tak dapat diperkirakan, hilang timbul, sering, tak dapat di control ( sebanyak 20-30 kali defekasi/hari): perasaan dorongan/kram (tenesmus): defekasi berdarah/pus/mukosa dengan atau tanpa keluar feses
Tanda : menurunnya bising usus, tak ada peristaltic atau adanya peristaltic yang dapat di lihat. Hemoroid, fisura anal (25%): fistula perianal ( lebih sering pada crohn ). Oliguria
e.       Makanan/ cairan
Gejala ; anoreksia, mual/muntah, penurunan berat badan, tidak toleran terhadap diet/sensitive missal buah segar sayur, produk susu, makanan berlemak.
Tanda ; penuruna lemak subkutan/ massa otot. Membrane mokusa pucat; luka, inflamasi rongga mulut.
f.       Hygiene
Tanda ; ketidak mampuan mempertahanan perawatan diri, stomatitis menunjukkan kekurangan vitamin. Bau badan
g.      Nyeri/ kenyamanan
Gejala; nyeri/nyeri tean pada kuadran kiri bawah ( mungkin hilang dengan defekasi), titik nyeri berpindah, nyeri tekan (artritis), nyeri mata, fotopobia (iritis)
Tanda : nyeri tekan abdomen/distensi
h.      Keamanan
Gejala ; riwayat lupus eritematosus, anemia hemolitik, vaskulitis. Arthritis ( memperburuk gejala dengen eksaserbasi penyakit usus ).
Peningkatan suhu 39,6-40 (eksaserbasi akut). Penglihatan kabur.
Alergi terhadap makanan/produk susu ( mengeluarkan histamine
kedalam usus dan mempunyai efek inflamasi )
tanda: lesi kulit mungkin ada missal eritema nodusum ( meningkat, nyeri tekan, kemerahan, dan bengkak) pada tangan , muka ; pioderma gangrenosa ( lesi tekan purulen/ lepuh dengan batas ke unguan) pada paha, kaki, dan mata, ankilosa spondilitis, uveitis, konjungtivitis iritis.
i.        Seksualitas
Gejala  : frequensi menurun/menghindari aktivitas seksual

j.        Intraksi sosial
Gejala  : masalah hubungan/peran sehubungan dengan kondisi ketidakmampuan aktif dalam social
k.      Penyuluhan/pembelajaran
Gejala  : riwayat keluarga berpenyakit inflamasi usus.
Pertimbangan        
Rencana pemulangan  : DRG menunjukkan rerata lama dirawat  7,1 hari
                                    : bantuan dengan program diet, program obat, dukungan psikologi.

2.   Diagnosa keperawatan
a.       Nyeri b.d. iritasi intestinal, diare, kram abdomen, respons pembedahan.
b.      Risiko ketidakseimbangan cairan tubuh b.d. keluar cairan tubuh dari muntah.
c.       Aktual/risiko tinggi ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d. intake makanan yang kurang adekuat.
d.      Pemenuhan informasi b.d. adanya evaluasi doagnostik, rencana pembedahan, dan rencana perawatan rumah.
e.       Gangguan aktivitas sehari-hari b.d. kelemahan fisik umum, keletihan pascanyeri dan diare.
f.       Risiko injuri b.d. pascaprosedur bedah kolektomi atau ilestomi.
g.      Aktual/risiko ketidakefektifan bersihan jalan napas b.d. kemampuan batuk menurun, nyeri pascabedah.
h.      Risiko tinggi infeksi b.d. adanya port de entree luka pascabedah.
i.        Kecemasan b.d. prognosis penyakit, misinterprestasi informasi, rencana pembedahan.


3.      Intervensi dan Perencanaan Keperawatan
a.       Nyeri berhubungan dengan iritasi intestinal, diare, kram abdomen, sembelit, respons pembedahan.
Tujuan : dalam waktu 3x24 jam pascabedah, nyeri berkurang atau teradaptasi.
Kriteria evaluasi :
-       Secara subjektif  pernyataan nyeri berkurang atau teradaptasi.
-       Skala nyeri 0-1 (0-4).
-       TTV dalam batas normal, wajah pasien rileks.
Intervensi
Rasional
Jelaskan dan bantu pasien dengan tindakan pereda nyeri nonfarmakologi dan noninvasif.




Lakukan manajemen nyeri keperawatan , meliputi:
·         Kaji nyeri dengan pendekatan PQRST














·         Beri oksigen nasal apabila skala nyeri ≥3 (0-4).






·         Istirahatkan pasien pada saat nyeri muncul. Biasakan pasien untuk BAB di tempat tidur.









·         Atur posisi fisiologis.








·         Beri kompres hangat pada abdomen.



·         Ajarkan teknik
relaksasi pernapasan dalam pada saat nyeri muncul.



·         Ajarkan teknik distraksi pada saat nyeri.



·         Lakukan manajemen sentuhan.




Tingkatkan pengetahuan tentang: sebab-sebab nyeri dan menghubungkan berapa lama nyeri akan berlangsung.



Kolaborasi dengan tim medi suntuk pemberian:
·         Analgetik via intravena.





·         Antidiare.
Pendekatan dengan menggunakan relaksasi dan nonfarmakologi lainnya telah menunjukkan keefektifan dalam mengurangi nyeri.


Pendekatan PQRST dapat secara komprehensif menggali kondisi nyeri pasien.
P: Penyebab nyeri dapat diakibatkan oleh respons diare, kram  abdomen, dan sembelit atau kerusakan jaringan pascabedah.
Q: kualitas nyeri seperti tumpul, kram, dan mules.
R: Area nyeri pada abdomen bawah kiri.
S: pasien mengalami skala nyeri 3 (0-4).
T: Nyeri bertambah bila tidak bisa melakukan BAB.

Pemberian oksigen dilakukan untuk memenuhi kebutuhan oksigen pada saat pasien mengalami nyeri pascabedah yang dapat mengganggu kondisi hemodinamik.

Istirahat diperlukan untuk menurunkan peristaltik usus. Istirahat secara fisiologis dan melakukan BAB di tempat tidur akan menurunkan kebutuhan oksigen yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan metabolisme basal pada aktivitas dan menurunkan keletihan pascanyeri.

Pengaturan posisi semifowler dapat membantu merelaksasi otot-otot abdomen pascabedah sehingga dapat menurunkan stimulus nyeri dari luka pascabedah.

Memberikan respons vasodilatasi. Kompres ini hanya dilakukan pada pasien tanpa pembedahan.

Meningkatkan intake oksigen sehingga akan menurunkan nyeri sekunder dari iskemia spina.

Distraksi (pengalihan perhatian) dapat menurunkan stimulus internal.

Manajemen sentuhan pada saat nyeri berupa sentuhan dukungan psikologis dapat membantu menurunkan nyeri.

Pengetahuan yang akan dirasakan membantu mengurangi nyerinya dan dapat membantu mengembangkan kepatuhan pasien terhadap rencana terapeutik.



Analgetik diberikan untuk membantu menghambat stimulus nyeri ke pusat persepsi nyeri di korteks selebri sehingga nyeri dapat berkurang.
Penurunan respons diare dapat menurunkan stimulus nyeri.

b.    Risiko tinggi nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake makanan yang kurang adekuat.
Tujuan: setelah 3x24 jam pada pasien nonbedah dan setelah 7x24 jam pascabedah intake nutrisi dapat optimal dilaksanakan.
Kriteria evaluasi:
-   Pasien dapat menunjukkan metode menelan makanan yang tepat.
-   Keluhan mual dan muntah berkurang.
-   Secara subjektif melaporkan peningkatan nafsu makan.
-   Berat badan pada hari ke-7 pascabedah meningkat 0,5 kg.
No
Intervensi
Rasional
1.
Kaji dan berikan nutrisi sesuai tingkat toleransi individu.
Pemberian nutrisi pada pasien dengan enteritis regional bervariasi sesuai dengan kondisi klinik dan tingkat toleransi individu.
2.
Sajikan makanan dengan cara yang menarik.
Membantu merangsang nafsu makan. Hal ini dapat diberikan bila toleransi oral tidak menjadi masalah pada pasien.
3.
Fasilitasi pasien memperoleh diet rendah lemak.
Diet diberikan pada pasien dengan gejala malabsorpsi akibat hilangnya fungsi penyerapan permukaan mukosa, khususnya penyerapan lemak. Keterlibatan ileum terminal dapat mengakibatkan steatorrhea (buang air besar dengan feses bercampur lemak).
4.







5.




6.







7.



8.


9.





Fasilitasi pasien memperoleh diet dengan kandungan serat tinggi.




Fasilitasi pasien memperoleh diet rendah serat pada gejala obstruksi.

Fasilitasi untuk pemberian nutrisi parenteral total.






Pantau intake dan output, anjurkan untuk timbang berat badan secara periodik (sekali seminggu).
Lakukan perawatan mulut.


Kolaborasi dengan ahli gizi mengenai jenis nutrisi yang akan digunakan pasien.



Suplemen serat dikatakan bermanfaat bagi pasien dengan penyakit kolon karena fakta bahwa serat diubah menjadi rantai pendek asam lemak, yang menyediakan bahan bakar untuk penyembuhan mukosa kolon.
Diet rendah serat biasanya diindikasikan untuk pasien dengan gejala obstruksi.
Nutrisi parenteral total (TPN) digunakan bila gejala penyakit usus inflamasi bertambah berat. Dengan TPN, perawat dapat mempertahankan catatan akurat tentang intake dan output cairan, serta berat badan pasien setiap hari.
Berguna dalam mengukur keefektifan nutrisi dan dukungan cairan.

Intervensi ini untuk menurunkan risiko infeksi oral.
Ahli gizi harus terlibat dalam penentuan komposisi dan jenis makanan yang akan diberikan sesuai dengan kebutuhan individu.

c.         Aktual/risiko ketidakseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan diare, kehilangan cairan dari gastrointestinal, gangguan absorpsi usus besar, pengeluaran elektrolit dari muntah.
Tujuan: dalam waktu 1x24 jam tidak terjadi ketidakseimbangan cairan dan elektrolit.
Kriteria:
-            Pasien tidak mengeluh pusing TTV dalam batas normal, kesadaran optimal.
-            Membran mukosa lembab, turgor kulit normal, CRT >3 detik.
-            Laboratorium: Nilai elekrolit normal, analisis gas darah normal.
Intervensi
Rasional
Kaji terhadap adanya tanda kekurangan volume cairan: kulit dan membran mukosa kering, penurunan turgor kulit, oliguria, kelelahan, penurunan suhu, peningkatan hematokrit, peningkatan berat jenis urine, dan hipotensi.
Sebagai parameter dasar untuk pemberian intervensi terapi cairan atau pemenuhan hidrasi.
Intervensi pemenuhan cairan:
·  Identifikasi faktor penyebab, awitan (onset), spesifikasi usia dan adanya riwayat penyakit lain.



·  Lakukan pemasangan IVFD.








·  Dokumentasi dengan akurat tentang asupan dan haluaran cairan.

·  Bantu pasien apabila muntah.

Parameter dalam menentukan intervensi kedaruratan. Adanya riwayat keracunan dan usia anak atau lanjut usia memberikan tingkat keparahan dari kondisi ketidakseimbangan cairan dan elektrolit.

Apabila kondisi diare dan muntah berlanjut, maka lakukan pemasangan IVFD. Pemberian cairan intravena disesuaikan dengan derajat dehidrasi.
Pemberian 1-2 L cairan Ringer Laktat dengan tetesan cepat sebagai kompensasi awal hidrasi cairan diberikan untuk mencegah syok hipovolemik.

Sebagai evaluasi penting dari intervensi hidrasi dan mencegah terjadinya over hidrasi.

Aspirasi muntah dapat terjadi terutama pada usia lanjut dengan perubahan kesadaran. Perawat mendekatkan tempat muntah dan memberikan masase ringan pada pundak untuk membantu menurunkan respons nyeri dari muntah.
Intervensi pada penurunan kadar elektrolit:
·  Evaluasi kadar elektrolit serum.



·  Dokumentasikan perubahan klinik dan laporkan dengan tim medis.




·  Monitor khusus ketidakseimbangan elektrolit pada lansia.

Untuk mendeteksi adanya kondisi hiponatremi dan hipokalemi sekunder dari hilangnya elektrolit dari plasma.

Perubahan klinik seperti penurunan urine output secara akut perlu diberitahu kepada tim medis untuk mendapatkan intervensi selanjutnya dan menurunkan risiko terjadinya asidosis metabolik.

Individu lansia dapat dengan cepat mengalami dehidrasi dan menderita kadar kalium rendah (hipokalemia) sebagai akibat diare. Individu lansia yang menggunakan digitalis harus waspada terhadap cepatnya dehidrasi dan hipokalemia pada diare. Individu ini juga diintruksikan untuk mengenali tanda-tanda hipokalemia karena kadar kalium rendah dapat memperberat kerja digitalis, yang dapat menimbulkan toksisitas digitalis.
Kolaborasi dengan tim medis terapi farmakologis.
·      Antimikroba.




·      Antidiare/antimotilitas.


Antimikroba diberikan sesuai dengan pemeriksaan feses agar pemberian antimkroba dapat rasional diberikan dan mencegah terjadinya resistensi obat.

Agen ini digunakan untuk menurunkan frekuensi diare. Salah satu obat yang lazim diberikan adalah Loperamide (Imodium).




























BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Kolitis ulseratif adalah suatu penyakit ulseroinflamatorik yang mengenai kolon, tetapi terbatas di mukosa dan submukosa, kecuali pada kasus yang sangat parah. Kolitis ulseratif berawal di rektum dan meluas perkontinuitatum ke proksimal, kadang-kadang mengenai seluruh kolon (Robbins, 644,2004).
 Kolitis ulseratif adalah kondisi kronis yang tidak diketahui penyebabnya biasanya mulai pada rektum dan bagian distal kolon dan mungkin menyebar keatas dan melibatkan sigmoid dan kolon desenden atau seluruh kolon. Ini biasanya hilang timbul ( akut eksaserbasi dengan remisi panjang), tetapi beberapa individu (30%-40%) mengalami gejala terus menerus (Doenges, 471, 2000).
Penyebab dari kolitis ulseratif sangat beragam, meliputi fenomena autoimun, faktor genetik perokok pasif, diet, pascapendektomi, dan infeksi. Untuk memastikan adanya penyakit kolitis ulseratif dapat dilakukan beberapa pemeriksaan diagnostik seperti pemeriksaan laboratorium, prosedur endoskopi, pemeriksaan radiografik diantaranya CT scan, foto polos abdomen, dan studi kontras barium. Sedangkan untuk Asuhan Keperawatan kolitis ulseratif mencakup semua kebutuhan dasar manusia.












DAFTAR PUSTAKA

Doenges, Marilynn E, dkk. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta: EGC
Smeltzer, Suzanne C dan Brenda G. Bare. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner & Suddarth vol.2 edisi 8. Jakarta: EGC
Arif, muttaqin dan sari kumala. 2011. Gangguan gastrointestinal aplikasi askep medical bedah. Jakarta : penerbit salemba medika
Dr. Sujono Hadi. Gastroenterologi.Bandung. 1981. Alumni.
Adji Dharma. Gangguan Saluran Pencernaan. Jakarta. 1981. EGC.